Selasa, 01 Desember 2009

M a h a r

Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Berikanlah maskawin mahar kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai pemberian dengan penuh karelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (An-Nisaa’:4). Mahar adalah menjadi hak penuh sang isteri yang harus ditunaikan oleh sang suami, dan ia menjadi hak miliknya. Tidak halal bagi seorangpun, baik bapaknya ataupun lainnya mengambil sebagian darinya kecuali dia ridha.

Syariat Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar, namun ia mendorong agar memperingan mahar, tidak terlalu tinggi demi mempermudah urusan pernikahan. Sehingga generasi muda tidak merasa enggan melaksanakan pernikahan karena demikian banyak/besar tanggunannya.

Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberkan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dengan menanggung dosa yang nyata.” (An-Nisaa’:20).

Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. datang kepada Rasulullah saw. sedang pada dirinya terdapat tanda berwarna kuning. Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepadanya, lalu Anas menjelaskan kepadanya bahwa dia sudah kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, beliau bertanya, ”Berapa nilai mahar yang kamu berikan kepada?” Jawabnya, ”Emas sebesar hiji kurma.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Adakanlah walimah walaupun seekor menyembelih seekor kambing,” (Muttaqin ’alaih: Fathul Bari IX:221 no:5153, Muslim II:1042 no:1427, ’Aunul Ma’bud VI:139 no:2095, Tirmidzi II:277 no:1100, Ibnu Majah I:615 no:1907 dan Nasa’i VI:119).

Dari Sahl bin Sa’id r.a. berkata, ”Ketika kami berada di tengah-tengah para sahabat di dekat Rasulullah saw. tiba-tiba ada seorang perempuan berdiri, lalu menyatakan ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (seorang perempuan) menghibahkan diri kepadamu, maka bagaimana pendapatmu tentangnya.’ Kemudian bangun (lagi) kedua kalinya, lalu mengatakan, ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia benar-benar menghibahkan diri kepadamu maka lihatlah bagaimana pendapatmu.’ Kemudian bangunlah ia untuk ketiga kalinya, lantar berujar. ’Ya Rasulullah, sesungguhnya ia telah menghibahkan diri kepadamu maka perhatikanlah ia bagaimana pendapatmu.’ Maka bangunlah seorang sabahat, lalu mengatakan, ”Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya. Kemudian beliau bertanya, "Apakah engkau mempunyai barang sebagai mahar?" Jawabnya, ’Belum.’ Maka, sabda beliau, "Pergilah mencari walaupun sekedar cincin yang terbuat dari besi," Maka dia pergi mencarinya. Kemudian datang lalu berkata (kepada beliau), ’Aku tidak mendapatkan apa-apa, walaupun sekedar cincin dari besi,’ Sabda beliau selanjutnya, "Apakah engkau punya hafalan Al-Qur’an?" Dia menjawab, ’Saya hafal surah ini dan surah ini,’ Sabda Beliau (lagi), "Pergilah, sungguh saya telah nikahkan kamu dengannya mahar hafalan Qur’anmu.” (Muttafaqun Shahih: Fathul Bari, IX:205 no:5149 dan ini lafadz bagi Imam Bukhari, Muslim II:1040 no:1425, ’Aunul Ma’bud VI:143 no:2097, Tirmidzi II:290 no:1121, Ibnu Majah I:608 no: 1889 secara ringkas dan Nasa’i VI:123).

Dan dibolehkan segera membayar mahar secara tunai, atau seluruhnya dibayar belakangan dan boleh juga sebagiannya dibayar tunai dan sebagiannya lagi dikredit (dibayar kemudian). Suami boleh menggauli isterinya, walaupun dia belum membayar sama sekali maharnya, kepada sang isteri, bila maskawinnya belum ditetapkan. Apabila maharnya sudah ditetapkan, maka dia harus membayar mahar yang telah ditetapkan kepada isterinya. Waspada dan waspadalah jangan sampai kita tidak membayar mahar yang telah disepakati karena Rasulullah saw. bersabda, ”Syarat-syarat yang paling berhak kalian sempurnakan ialah kalian menyempurnakan mahar yang dengannya kalian telah menghalalkan kehormatan isteri kalian.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:217 no:5151, Muslim I:20 :1035 noa;1418, ’Aunul Ma’bud VI:176 no:2125, Ibnu Majah I:628 no:1954, Tirmidzi II:298 no:1137 dan Nasa’i VI:92).

Bilamana sang suami meninggal dunia setelah dilangsungkan akad nikah sebelum bercampur dengan isterinya, maka maharnya tetap menjadi hak milik penuh sang isteri.

Dari Al-Qamah r.a. berkata, ”Pernah dibawa kepada Abdullah bin Mas’ud seorang perempuan yang sudah dikawini oleh seorang laki-laki, lalu sang suami meninggal dunia sebelum menetapkan maharnya dan belum bercampur dengannya. Kemudian (keluarga kedua belah pihak) mengadu kepada Abdullah, dan dia berkata, Menurut hemat saya (Abdullah), mahar untuk sang isteri seperti besarnya nilai maskawin kaum wanita di negerinya. Ia berhak mendapatkan warisan (dari kekayaan suaminya) dan ia harus menjalankan masa iddahnya.’ Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i r.a. bersaksi bahwa Nabi saw. pernah memutuskan untuk Barwa binti Wasyiq seperti yang diputuskan oleh Abdullah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1939 Tirmidzi II:306 no:1154,’ ’Aunul Ma’bud VI:147 no:2100, Ibnu Majah I:609 no:1891 dan Nasa’i VI:121).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 545--549.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Satu

Satu

Dua

dua

Tiga

tiga

Enam

enam

Lima

lima

Empat

empat